Langit yang mendung, rindu yang dikandung, pada akhirnya hanya akan melahirkan kenangan.
Begitulah kita yang setia melihat langit, saat kita berdua duduk bersandar pada rumput di atas bukit.
Mungkin nanti kau dan aku akan sendiri, tanpa ada kita, hanya ada kesepian yang masih tetap setia menatap langit.
Pada mulanya langit terik, membuat mata kita sakit melawan silaunya harapan yang dulu begitu terang.
Sampai akhirnya langit perlahan mendung, biru bercampur abu-abu, entah akan hujan atau sekedar menguji, adakah rindu yang membisu pada perasaan yang ditinggalkan? Sebab melawan perasaan adalah menjadikan kegagalan sebagai pintu pulang.
Hujan pun akan turun, langit yang mendung sudah berkilatan di hempas petir.
Aku yang getir, terdiam melihat wajahmu terparkir pada langit-langit perasaan.
Mungkinkah kau, akan menjadi takdir dari seorang fakir kerinduan, yang bahkan menerjemahkan nadir, menjalani kegaguan yang bisu?!!
Selama ini kita lugu dan percaya pada cuaca yang ada. Hujan adalah kenangan, gugur adalah getir, kering adalah genting, dan semi adalah sepi.
Sebelum cuaca tiba, ada langit yang mengabarkan. Seperti kita yang telah menitipkan bayangan, langit akan mengibarkan awannya sebagai tanda-tanda sebuah cinta.
Sebelum langit makin mendung, aku ingin merindukan kesepian tanpa suara, yang membawaku pada perasaan tak terbendung. Sampai akhirnya, namamu adalah muara dari segala cerita.
Takutku, bukan pada hujan, melainkan mendung yang berkepanjangan. Memaksaku mengitari ingatan yang semestinya sudah terlupakan.
Sebelum hujan turun, aku ingin mencintai ingatan, sebab aku tak mampu memilih dan memilah perasaan. Sebab kita satu cerita dalam satu buku kehidupan, yang diawali dengan getirmu dan di akhiri dengan getarku.
Pada langit yang mendung, ingin ku berbisik seraya mengadu pada-Nya, bahwa aku mencintaimu...."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar